Ika Nurhayati

Belum pernah mampir ke warkop ini karena jam bukanya malam. Meski judulnya warkop, jangan salah, ini tempat banyak barista belajar bikin kopi. Saya juga tahu soal warkop ini dari para barista, termasuk yang bekerja di kafe Jakarta. Teruuus logo warkop ini menggemaskan! Coba lihat gambar seorang laki-laki yang tengah meracik kopi di logo, itu mukanya mirip pemilik warkop lo.

Minuman kopi Warkop Doa Ibu ini jadi pelipur lara selama di rumah saja. Ulasan ini menandai pemesanan saya yang kedua. Sama dengan kali pertama, saya pesan mixberry latte dalam kemasan botol 500 ml dan kopi japanese iced coffee. Beda dengan pemesanan pertama, japanese coffee kali ini dikemas dalam botol kaca gelap—sebelumnya dengan botol plastik. Harganya sama saja lagi, 15 ribu rupiah untuk japanese coffee, sementara mixberry latte 40 ribu.

Mixberry latte yang berwarna pink—karena pengaruh sirop mixberry yang ditambahkan ke dalam minuman latte—merupakan salah satu minuman kopi 500 ml/1 liter yang ditawarkan Warkop Doa Ibu. Saya memang suka latte dengan campuran rasa berry dan menurut saya, mixberry latte ini sejauh ini yang terbaik. Di tengah rasa mixberry yang segar, rasa kopi pada minuman ini cukup tebal.

Japanese coffee juga saya suka! Rasanya kompleks, eh gimana, maksud saya ada rasa manis, asam, dan juga sedikit rasa getir khas kopi. Enggak tahu sih pakai biji kopi apa, berhubung pesan lewat WA dan enggak mau merepotkan—soalnya manual brew tidak tercantum dalam menu di akun Instagram maupun aplikasi ojek—jadi soal biji kopi terserah pemilik warkop saja.

Penasaran sama kopi dengan rasa kurma, jadi pesan kopi kurma dalam kemasan 500 ml. Satu lagi alasan memilih minuman kopi Twin House buat ngopi #dirumahaja, karena logonya yang sederhana tapi menarik buat saya.

Kurma buah yang identik dengan bulan puasa, jadi paslah ya pesan kopi kurma. Dari penampilannya, kelihatan kopi kurma ini pekat rasa kopinya. Rasa kurmanya ada tapi tidak terlalu menonjol. Bukan karena ditenggelamkan rasa kopinya melainkan karena faktor rasa terlalu manis, sepertinya (maaf kalau salah) dari gula yang merupakan tambahan dalam minuman kopi ini atau gula dalam sirup kurma. Kabar baiknya, setelah dituang ke dalam gelas dan ditambahkan es, minuman ini manisnya pas dan kopinya tetap terasa.

Sering melewati tapi baru mampir. Enggak menyangka meski minuman Rarai harganya di kisaran 18 ribu-22 ribu saja, untuk rasa mantap! IMO semantap yang harganya di atas 30 ribu. Black rarai (18 ribu)—semacam americano—teksturnya cukup berani untuk harga sebegini, dengan sensasi rasa fruity di ujung sesapan. Pesanan saya satu lagi, minuman teh susu earl grey, hadir dengan rasa dan wangi earl grey yang juga cukup berani.

Untuk gerai yang terbilang mungil, Rarai tampak manis dari depan dengan cat biru muda dan bagian dalamnya nyaman, dengan beberapa jenis bangku termasuk sofa dan bangku ayunan. Juga berfasilitaskan stopkontak di hampir tiap meja dan toilet.

Untuk kawasan seputar Lenteng Agung, kafe ini nyaman dan mudah dijangkau. Dekat dengan SMA 38, sore pas saya datang lagi tidak ramai. Kapasitas ruangan non-smoking lebih besar, tapi sepertinya saat malam digelar bangku lebih banyak di teras.
Kalau suka kopi manual brew, banyak macamnya di sini, karena Milenial Coffee ini kan merangkap roastery. Saya pesan japanese iced coffee dengan biji kopi Semendo (24 ribu), yang jarang saya jumpai di kedai lain. Ini sepertinya jadi kopi japanese dengan biji kopi Semendo pertama yang saya minum dengan aftertaste asam dan manis--biasanya ada sedikit pahit. Suka banget!
Untuk makanan, hanya ada camilan dan sayangnya roti serta pastri sedang tidak ada stok. Ada camilan lain kayak risol dan curry puff pastry (16 ribu isi 2), saya pilih yang terakhir. Digoreng sedikit kelamaan tapi saya malah suka sih puff pastry yang agak gosong begini he he he. Rasanya enak, buat ngemil sendirian pas.

Ingin mampir dari dulu banget tapi enggak berani sendirian, karena kedai kopi-roastery ini kesannya serius banget. Baru pas ada teman yang mau ikut bareng, meluncurlah saya ke Philocoffee.
Dari luar sih kelihatan kayak rumah, dengan beberapa sepeda motor terparkir di depannya. Masuk ke dalam, sesuai dugaan kemasan biji kopi dan alat-alat kopi terpajang di sana-sini. Tapi meski tidak luas, Philocoffee punya area duduk pengunjung yang nyaman, satu ruangan dengan bar kopi dan di teras belakang.
Lebih kondang sebagai roastery, Philocoffee ternyata juga menjual minuman selain kopi plus camilan enak. Saya dan teman pesan japanese iced coffee dengan biji kopi limited Ijen Karamela (25 ribu), latte (20 ribu--teman saya sebetulnya pesan cappuccino tapi dibuatkan latte, ya sudahlah), bitterballen daging (isi 3, 25 ribu), dan lumpia mini vietnam (isi 5, 25 ribu).
Kopi japanese Ijen Karamela agak enteng, karena kelamaan kami foto sehingga esnya sudah mencair. Tapi note cenderung fruity masih terasa, jadi masih bisa dinikmati. Latte enak banget! Sensasinya lembut namun kopinya cukup terasa hingga sesapan terakhir. Lalu camilan, semuanya pun enak. Saus mustard khas mengangkat cita rasa bitterballen yang renyah luarnya dan lembut dalamnya. Lumpia mini isinya padat, termasuk ayam suwir dan wortel iris. Sayang terhidang dengan saus sambal biasa, bukan saus seperti saus bangkok.

Kafe menarik dekat Stasiun Tangerang. Dari rumah saya jauh, tapi pada akhirnya saya datangi karena teman saya enggak pegal-pegal mempromosikan, ini lo ada kafe keren yang jaraknya masih dalam radius jalan kaki, Black Campaign.
Entah kenapa nama kafe ini Black Campaign, mungkinkah karena beberapa bagian tembok dan langit-langit bercat gelap? Dari depan terlihat menarik dengan atap ala rumah joglo, lebih jelas apabila kita berdiri di depan Sungai Cisadane yang mengalir di seberangnya. Namun karena letaknya ada di pertemuan dua jalan—salah satunya jalan satu arah—kalau tidak cermat mengamati, bisa jadi Black Campaign terlewat dari pandangan.
Berlantai 2—area smoking di atas—saat saya mampir siang, area duduk di lantai bawah padat pengunjung yang kesemuanya menghadap laptop. Saya pesan japanese cold drip dengan satu-satunya biji kopi yang terpajang di bar kopi, kalau tidak salah asal Guatemala, yang body-nya agak tebal dengan sensasi rasa manis dan asam.
Untuk makanan, pilihan tidak terlalu banyak tapi mencakup selera orang. Ada nasi dengan lauk, spageti, makaroni, sandwich, sampai camilan gurih dan manis. Saya beli macaroni schotel, salah satu yang bertanda jempol alias direkomendasikan, Tidak hanya gurih enak, porsinya besar sehingga separuhnya saya bawa pulang.

Tahun lalu ada perlu di Tangerang, tak tahu mau ngopi di mana. Padahal Coffeine ini sudah berdiri waktu itu, dan bagus! Tidak hanya bagus tempatnya, kopi manual yang saya icip di sini pun enaaak.
Jangan tanya patokan, saya kemari mengandalkan jasa ojol. Coffeine ini bergaya kekinian, dengan elemen Zen. Area smoking lebih luas daripada non-smoking--ini seruangan dengan bar kopi dan hanya berfasilitaskan 5 bangku. Enaknya sore hang out di sini agar tidak kepanasan.
Pilihan makanan tidak banyak tapi untung waktu saya datang lagi tersedia. Saya pesan japanese iced coffee dengan biji kopi Gayo Ceding Ayu dan chicken sandwich, total 42 ribu rupiah. Kopinya saya suka banget, karena rasa manis dan asam sesuai yang dijanjikan menggelitik indra perasa. Chicken sandwich juga oke nih. Terhidang dengan lapisan mirip pao tapi lebih tipis--bukan roti sebagaimana umumnya--isi ayam suwir pedas dan bawang bombainya rata.