Setelah mandi
dan berpakaian, seperti tidak lupa akan tugasnya, perut akan keroncongan
meminta makan. Belum lagi saya memikirkan akan makan apa, seketika terdengar
bunyi “teng… teng… tereng teng…” dari luar. Mamang nasi goreng memang boleh
dinobatkan menjadi idola. Begitulah merek yang tertulis di gerobak si Mamang, “NASI
GORENG IDOLA”. Memang idola sejak dalam gagasan, si Mamang ini. Saya memesan
nasi goreng sang idola, menunggunya sembari memerhatikan kepiawaian si Mamang
dengan perangkat kerjanya, dan setelahnya makan lalu kenyang. Kantuk pun tak
menunggu lama, seperti tidak lupa pula akan tugasnya.
Sumber : Pergikuliner.com
Cerita di atas
saya rasa tak akan ditemukan oleh mereka yang hidup dan tinggal di luar negeri.
Mungkin (karena saya belum pernah hidup dan tinggal di luar negeri, maka ini
hanya satu kemungkinan). Saya sekali waktu pernah membayangkan, bagaimana jika
saya hidup di luar negeri, dan beginilah cerita bayangan saya:
Malam baru saja
turun ketika saya berhasil sampai di apartemen murahan di pinggiran Manhattan,
setelah sebelumnya berjalan di trotoar tanpa hambatan, menikmati senja
mengambang dari sisi kanal yang temaram. Seperti biasa, sesampainya di
apartemen sepulang kerja, hal yang saya lakukan adalah berendam di bathtub
murahan. Sebab membiarkan peluh yang membungkus tubuh seharian tinggal lebih
lama, pasti akan menjadikan tidak asyik aromanya, bukan?
Setelah mandi
dan berpakaian, seperti tidak lupa akan tugasnya, perut akan keroncongan
meminta makan. Berjingkat ke lemari penyimpanan makanan, saya tidak menemukan
apa-apa selain sereal sisa sarapan. Saya bingung memikirkan akan makan malam
apa. Sekali terlintas di pikiran untuk makan di restoran yang berada tak jauh
dari apartemen. Namun dari saku belakang celana, dompet saya menjerit duluan. Akhir
bulan, bos! Sepertinya bukan gagasan yang buruk jika makan mie instan double
dengan telur juga rawit, pikir saya ngiler mengalihkan gambaran akan makan di
restoran. Namun, kerlap lampu-lampu gedung yang bagai kunang-kunang menyadarkan
saya, bahwa ini Manhattan, bukan Kampung Rambutan. Mana ada warung, Warkop atau
Burjo yang senantiasia menyediakan mie instan. Seketika samar-samar di ingatan,
muncul si Mamang nasi goreng yang dengan senyum melintas dengan bunyi khas “teng…
teng… tereng teng…”-nya.
Sumber : Europosters.eu
Dan pada mulai
saat itu saya tak lagi memikirkan hidup dan tinggal di luar negeri, saya begitu
bersyukur bisa hidup dan tumbuh di Indonesia. Di Indonesia akan senantiasa kita
dapati penjaja makanan di tiap sudut jalan hingga gang. Dari jajanan hingga
makanan berat. Dari yang khas Indonesia hingga yang khas barat. Tidak akan pernah
ada kebingungan muncul untuk urusan perut jika tinggal dan hidup di Indonesia. Warkop
dan Burjo buka 24 jam sebagai pilihan jika tidak ingin makan di restoran ayam
goreng yang, untuk menikmatinya saja melalui perdebatan dulu: kulitnya dimakan
duluan, apa belakangan? Warung yang mana cikal bakal minimarket bertebaran pula
di sudut-sudut gang, yang dengan ramah penjualnya kita bisa membeli mi instan,
kopi sachetan, dan rokok ketengan. Di luar negeri hal semacam ini mana bisa
kita dapatkan.
Indonesia memang
masih jauh dari kata sempurna. Masih banyak kekurangan yang harus dibenarkan. Namun
Indonesia adalah surga bagi para pecinta makanan. Dan bukan hanya itu, tapi
juga surga bagi makanan itu sendiri untuk hadir memenuhi kebutuhan.
Cek rekomendasi menu nasi goreng dari kami di bawah, ya!