Pada suatu siang yang terik, di mana matahari di atas sana serasa punya saudara kembar, tiba-tiba saya kepingin makan sesuatu yang berkuah, pedas lagi segar. Hari itu adalah hari ketiga saya berada di Bandung. Sembari memikirkan akan memilih makan soto atau bakso, di luar kamar kost-an terdengar bebunyian dengan ketukan nada 4/4: “tok tok tok… tok” begitu bunyinya. Saya berjingkat keluar dan mendapati pedagang yang memikul pikulan berwarna perak, dengan senyum menawarkan dagangannya kepada saya, “Cuanki, Kang?” Melihat pada pikulannya itu terdapat bungkusan-bungkusan mi instan dan botol saos dan sambal, saya berpikir pasti ini makanan berkuah. Sontak saya menjawab, “Boleh, Kang…”
Sumber : Travelingyuk.com
Tak menunggu
waktu lama semangkok makanan yang di dalamnya terdapat bakso, siomay, tahu
putih dan mi instan (ini opsional, boleh pakai mi instan, boleh tidak), tersaji
dan saya menyantapnya dengan lahap. Sampai pada suapan terakhir baru saya
tersadarkan, “lha, ini bukannya sama saja dengan bakso Malang kebanyakan?
Lantas, Cuanki itu yang mana?” sembari mengembalikan mangkok dan membayar saya
bertanya kepada Kang dagangnya, “yang cuanki itu, yang mana, Kang?”. Sambil
mencuci perangkat makan yang baru saja saya gunakan, si Kang dagang menjawab
dengan santai, “ya, ini Cuanki”.
Pertanyaan saya
tidak terjawab. Masih penasaran, lalu saya bertanya kepada kawan-kawan Sunda
saya, dan ternyata oh ternyata, Cuanki itu adalah sebuah singkatan dari “Cari
Uang Jualan Cuanki” hehehe, enggak deng, Cuanki itu adalah singkatan dari “Cari
Uang jalAN kaKI”.
Jadi,
sederhananya Cuanki adalah sebutan atau istilah untuk setiap kegiatan mencari
sesuap nasi yang dilakukan dengan cara jalan kaki. Bisa dagang batagor, bisa
dagang tahu Sumedang. Tapi di daerah Bandung dan sekitarnya, istilah Cuanki itu
umum digunakan untuk pedagang bakso yang gerobaknya dipikul dan metode jualnya
dilakukan dengan berjalan kaki berkeliling.
Seiring
berkembangya zaman, hari ini cuanki tidak saja di jual dengan metode konvensionalnya.
Sekarang sudah ada pedagang cuanki yang mangkal selayaknya pedagang bakso atau
makanan lainnya. Bahkan hari ini sudah ada cuanki instan, yang membuktikan
bahwa makanan sederhana ini dinikmati dan digemari berbagai kalangan.
Setelah lima
tahun berada di Bandung, dan setelah puluhan kali menikmati cuanki, saya bisa
menyimpulkan beberapa fakta yang bikin saya heran sendiri. Karena saya tak mau
heran sendiri, maka fakta itu saya beberkan di sini agar kamu juga heran dan
kita heran bersama-sama:
- Ketukan pukulan yang menghasilkan bunyi “tok tok tok… tok” pedagang cuanki konsisten 4/4. Singkat padat dan mengundang rasa penasaran.
- Jika ingin menambahkan sendiri saos dari botolnya, niscaya si saos akan susah keluar. Kecuali si Kang dagangnya yang melakukan.
- Terdapat kotak kecil yang berada di sebelah tempat bakso dan bahan lainnya, yang fungsinya masih misterius dan setiap bertemu pedagang Cuanki selalu saja lupa untuk menanyakannya.
- Ketika sedang tidak kepingin, bunyi “tok tok tok… tok” yang konsisten dalam ketukan 4/4 itu sering muncul memanggil-manggil. Namun ketika sedang ingin, si Kang dagangnya entah ke mana, bunyi itu seakan tak pernah ada.
Nah, jadi
begitulah kisah si Cuanki: bakso yang menolak dipanggil bakso karena dijual
dengan cara dipikul. Walau kini sudah banyak para pedagang Cuanki yang mangkal,
yang pasti gampang untuk dituju ketika sedang kepingin, atau walau sudah ada
Cuanki instan sekalipun, saya masih tetap menikmati Cuanki yang konvensional:
menunggu kedatangan si Kang dagang, memasang kuping baik-baik untuk mendengar
bunyi “tok tok tok… tok” dan menyantap semangkok kesederhanaan.