Sekali waktu, kita pasti pernah iseng melempar pertanyaan kepada diri sendiri: mengapa sejak kecil kita dibiasakan untuk makan tiga kali sehari (sarapan, makan siang, dan makan malam)? Mengapa tidak dua? Atau empat? Atau bahkan dua puluh saja? Jika kamu belum pernah melempar pertanyaan itu, maka, kini bertanya lah. Karena saya akan menuliskan jawaban atas pertanyaan itu.
Sumber : Beritagar.id
Sebenarnya pola makan tiga kali sehari memiliki keterkaitan dengan konstruksi sosial yang dibentuk oleh masyarakat era sebelumnya. Sebelum adanya masyarakat modern, pola makan seperti ini tidak dikenal. Seperti contoh, kebiasaan sarapan tak dikenal oleh masyarakat era kekaisaran Romawi. Mereka pada masa itu hanya makan sehari sekali di sekitar tengah hari. Menurut sejarawan, rakyat Romawi dulu menganggap makan lebih dari sekali dalam sehari adalah bentuk keserakahan.
Pada masa selanjutnya, dengan naiknya tingkat religiusitas masyarakat Eropa, mereka mulai dengan kebiasaan makan di jam-jam pagi. Kebiasaan ini dimulai oleh kebiasaan orang kaya di Inggris. Masyarakat pada masa itu menjadi lebih modern akibat dari Revolusi Industri di inggris, sekitar pertengahan abad 19. Seperti yang kita ketahui, bahwa salah satu ciri modernitas adalah gaya hidup yang terstruktur. Para pekerja pada saat itu diatur sedemikian rupa ketat jadwal kerjanya, hingga mereka membiasakan makan pagi alias sarapan agar mempunyai pasokan tenaga yang cukup untuk bekerja.
Sumber : Travel.tribunnews.com
Makan siang, atau yang lebih populer dengan sebutan “lunch”. Tapi tahukah kamu mengapa lunch? Nah, salah satu teori lahirnya kata “lunch” diyakini berasal dari kata Anglo-Saxon lama yaitu “nuncheon” yang memiliki arti “makan cepat di antara dua waktu makan dengan sesuatu yang bisa kamu pegang di tangan”. Namun ternyata, kebiasaan rakyat Perancis untuk “souper” di abad ke-17 lah yang mengukuhkan bentuk yang hari ini kita sebut makan siang. Pada masa itu rakyat Perancis hanya makan makanan ringan saja di waktu malam. Dan makan berat mereka alihkan ke waktu siang. Kebiasaan yang cenderung modis ini kemudian diterapkan oleh bangsawan Inggris dan menyebar masif ke masyarakat.
Revolusi Industri sebagaimana berpengaruh kepada kemunculan kebiasaan sarapan, juga berpengaruh pada kebiasaan makan siang. Karena jam kerja yang ketat, pola makan rakyat kelas menengah dan bawah mengikuti itu semua. Para pekerja menghabiskan waktu dari pagi hingga sore. Sehingga makan siang, meski waktunya sangat sedikit, adalah penting. Kebiasaan makan di waktu yang sedikit alias mepet ini akhirnya melahirkan ruang bisnis untuk penjualan kue pie di sekitar pabrik. Pie menjadi primadona karena penyajiannya yang cenderung cepat dan efisien. Selanjutnya, bak melakukan inovasi pada kebiasaan mengonsumsi pie, roti isi kemudian populer untuk pilihan makan siang, terutama yang bisa dibeli cepat dan dibawa ke tempat kerja.
Sumber : Travel.tribunnews.com
Saat setelah seharian membanting tulang dengan jeda untuk makan yang mepet, sore menjelang malam menjadi waktu beristirahat yang kemudian memunculkan kebiasaan makan malam. Kebiasaan makan malam dianggap sesuatu yang pantas dan layak dinikmati usai seharian bekerja. Selain itu, malam dengan ketenangan suasananya, juga merupakan waktu yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga, sehingga mulai era 1950-an, mulai ada kebiasaan untuk makan malam bersama keluarga.
Jadi, bisa dikatakan bahwa, Revolusi Industri dan pengaturan jadwal kerja yang ketat menghadirkan pola makan tiga kali sehari. Kalau saja tidak seperti itu, mungkin hari ini kita mengadopsi kebiasaan masyarakat kekaisaran Romawi. Hanya makan satu kali sehari, dan barangsiapa yang makan lebih dari satu kali sehari, adalah seorang yang serakah.
Cek pilihan tempat sarapan, makan siang, atau makan malam dari kami di bawah, ya!