Darsehsri

Entah ini kedai kita cabang keberapa, tapi sepertinya jadi salah satu cabang tersukses setelah cabang pangrango. Tempatnya luas, persis di dekat pintu masuk taman budaya. Semi outdoor dengan sirkulasi udara yang cukup baik, jadi ngga was was pas makan disini. Tersedia juga musholla bersih didalamnya.

Konsepnya disini agak berbeda, pesan melalui QR Code, jadi ngga ada lagi pegang pegang buku menu. Kalau sudah selesai makan tinggal bayar di kasir.

Favorit saya tetap Steak Lidah yang semakib hari makin naik harganya, tapi tetap saja di order hahaha. Rasanya juga sama, enak buat saya, lidahnya tebal meski ukurannya makin menciut.

Mie Ayam Lada Hitam juga ngga mengecewakan, bumbunya enak, kondisi hangatnya sedikit tahan lama karena di atas hot plate.

Spicy Beef Pizza juga tetap enak, makan satu slice aja puas banget, yup! Isiannya sapi pedas yang gurih, ketemu keju mozarella, kelar.

Pangsit goreng buat selingan makan berat, cocok memang disantap bareng menu apa aja, empuk tapi renyah, favorit.

Yang sedikit kurang menyenangkan karena ditegur sama supervisornya dari jauh kenapa foto foto, untung abis gajian jadi hati agak adem buat jelasin kalo foto foto buat review hahahaha. Saran aja buat yang berkunjung, minta ijin dulu kalo mau foto-foto.

Ngga sengaja lihat warung makan ini pas di perjalanan, langsung mampir deh. Warung makannya sederhana, tapi yang bikin tertarik karena semua menunya serba pepes. Buat yang suka makanan sunda, istilah pepes mungkin udah ngga asing, itu salah satu tehnik memasak dengan cara makanannya di bungkus daun lalu di kukus dalam waktu lama.

Saya suka pepes ikan masnya disini, bumbunya pedas, meskipun ukuran ikannya kecil, tapi pepesnya cukup enak. Sempat nyobain pepes kembung, pepes tahu, pepes ayam tapi rasanya biasa aja.
Menu enak lainnya, ada pepes telur ikan, nah ini enak, gurih asin pedas. Sayangnya juga, semua pepes disajikan dalam kondisi dingin, kecuali tumisan sayuran.

Mumpung masih hits, jadi mampir kesini. Memang ekspektasi ngga tinggi karena udah diceritain teman sebelumnya soal makanan disini.
Memang tempat instagenic aja ngga cukup tanpa dibarengi makanan enak dan pelayanan yang baik. Fyi, dilarang memotret di area resto sama salah seorang disana, mungkin manajernya.

Saya sendiri ngga berminat makan berat karena memang cuma mampir buat takeaway iced chocolate dan aneka roti yang di jual dalam kemasan plastik. Iced chocolate rasanya biasa banget, sementara rotinya (15k/pcs) juga ngga special.

Jarang ada coffee shop di sepanjang jalur ini, raden coffee menarik perhatian karena lokasinya strategis. Parkiran luas dan tempatnya cukup besar, meski begitu coffee barnya kecil. Sederet piala kompetisi art latte dipajang dekat area kasir, saya pun jadi penasaran, segera pesan latte dan beberapa menu lainnya.

Untuk tampilan latte cukup oke, tapi rasanya watery, kopi susu gula arennya juga sama. Karena lapar berat, jadi pesan kwetiaw kuah dan pisang goreng, lumayan buat harga di bawah 25ribu.

Dua kali beli via ojek online, ternyata letaknya ngga jauh dari rumah saya. Yang pertama enak, berikutnya biasa aja.

Tapi yang bikin saya happy, ada choipan, di bogor susah banget nyari choipan. Ini termasuk enak, tapi ngga kuat lama alias gampang basi.

Bakso gejrotnya enak, isinya lemak dan oily gitu, dagingnya kecil kecil tapi lembut dan agak kenyal.

Kwetiaw Goreng Ayam cukup enak, manis asin.

Pangsit Goreng, ternyata ini pangsit viral itu lho. Jadi pangsit rebus terus dimasak pakai bumbu lagi, rasanya gurih dan manis, sambalnya terpisah, lumayanlah.

GN Coffee menempati sebuah ruko yang menyatu sama toko perabot lokal, cocok nih buat yang suka pernak pernik handmade.
Lantai satu diisi coffee bar dan area tempat duduk yang lebih mirip living room, sementara di lantai dua hanya diisi toko perabot.

Menu minumannya sangat variatif, aneka coffee dan non coffee-nya cukup menarik, baru sekali ini lihat menu minuman di coffee shop sebanyak ini.

Saya pesan mocha latte, lemon tea dan pisang goreng. Mocha latte cenderung watery, yang dominan rasa coklatnya saja. Buat lemon teanya standar dan pisang gorengnya ternyata one bites gitu, jadi potongannya kecil-kecil memanjang, lucu juga meski rasanya biasa saja.

Hal lain yang bikin betah, ruangannya adem, juga staffnya yang ramah dan sabar meladeni pengunjung yang jajan kopi sekaligus belanja perabot.

Sop buntut yang cukup terkenal di bogor, apa mungkin karena ada tulisan incu ma' emun, alias cucunya ma' emun, pelopor sop buntut di bogor.

Saya pesan sop buntut dan sop daging, tapi sop daging lupa foto karena pesan di tengah acara makan, itu pun karena merasa porsinya sop buntut lebih banyak sayurannya ketimbang dagingnya.
Ukuran buntutnya agak kecil, dagingnya cukup lembut, kuahnya clear, ngga terlalu gurih atau berasa kaldu dagingnya. Semangkok di banderol 55ribu, tersedia acar, jeruk nipis dan sambal.

Tidak pernah sepi pengunjung, pelayanan juga cepat, cuma saya cukup terganggu sama suara kasir di sebelah meja yang teriak teriak ngobrol sama koki yang bikinin sop, selama saya makan.