Mungkin Takarajima extended yang mengusung konsep grill tidak berhasil, jadi sekarang areanya disulap menjadi sebuah kafe baru bernama Roemah Coffee Eatery & Hub. Ada perubahan pada beberapa bagian bangunan, kalau dulu sebelah kiri dijadikan area semi outdoor, sekarang dibuat menjadi tertutup mirip rumah induk disebelahnya. Konsep minimalis industri masih menjadi nafas utama baik pada interior maupun eksterior, sehingga kafe ini jadi terlihat modern, simple tapi tetep aestetik penuh sudut-sudut instagenic.
Sebagian halaman depan dibuat menjadi lahan parkir baik mobil ataupun motor. Sebagian lagi diisi dengan bangku meja berbaris rapi yang dinaungi beberapa pohon ketapang kencana, saya pribadi selalu suka dengan pohon ini, tampilannya tuh “mahal” banget. Masuk kedalam pengunjung langsung disambut indoor area yang bersekat dengan plafon tinggi berbentuk segitiga. Tempat duduk diciptakan beragam, mulai dari meja ramean, meja pasangan, bangku berlapis jok empuk sampe ke bangku bermaterial sejenis plastik dan kayu.
Membagi ruang bukan berarti ada area khusus merokok dan tidak, karena sayangnya, semua area di Roemah Coffee Eatery & Hub ini merupakan smoking area. Beruntung saat mampir dua kali, engga ada satupun perokok yang berada satu ruangan dengan saya. Sebenernya agak kecewa sih, harusnya mereka memikirkan kebutuhan pengunjung yang tidak merokok supaya tetap betah berada disini.
Menu disini dibuat menyerupai lembaran koran yang boleh dibawa pulang oleh pengunjung. Karena niatnya pengen ngopi, saya langsung pesen minuman yang mereka rekomendasikan yaitu Ice Coffee Roemah (Rp.26.000,-) seruputan pertama langsung mengingatkan saya dengan permen kopiko, karena memang rasanya mirip manis permen. Minuman ini ada ditengah-tengah, enak engga, engga enak juga engga.
Masih penasaran dengan menu jagoan mereka lainnya, saya pun memesan Es Cendol Espresso (Rp.26.000,-) jadi ini tuh cendol atau dawet (jangan nyanyi pliiiiiiissss) yang diberi tambahan susu sebagai pengganti santan, gula aren dan satu shot espresso. Ini rasanya bukan dawet juga bukan es kopsus, a little bit weird for me. Karena memang saya juga sebenernya kurang suka sama es cendol, jadi ya kurang cocok aja.
Masih berhubungan dengan kopi, minuman ketiga yang saya coba adalah kopi seduh manual dengan gaya V60 (Rp.28.000,-) entah mereka menggunakan beans dari daerah mana, tapi rasa sampe saat saya menyesapnya ada asem kuat yang menyegarkan, dan ini enak. Paling tidak rasa yang disuguhkan cukup serius, seserius raut wajah Rangga saat memberikan buku kepada Cinta di bandara.
Engga lengkap rasanya kalo engga sambil ngunyah, jadi saya pun pesen Roti Bakar Bangkok Asin Telur Orak Arik (Rp.19.000,-) rotinya panjang kaya roti bakar khas Bandung. Secara mengejutkan, menu ini memberikan sensasi rasa yang enak, isiannya melimpah, saus dan mayonya pun royal. One of the best Roti Bakar di sepanjang Margonda nih, meskipun cuma diisi telor dadar doang.
Engga ketinggalan, sebagai pecinta pisang saya pun memesan Pisang Epe (Rp.18.000,-) pisangnya mateng jadi rasa manis yang keluar begitu alami, siraman gula aren sama susu kental manis membuatnya jadi semakin mantul. Overall, ada plus minus pada menu disini, cuma ya itu akan lebih oke kalo mereka menyiapkan ruangan non smoking supaya para perokok pasif seperti saya ini merasa betah dan nyaman...