The Duck King di Central Park tempatnya memanjang sampai belakang. Interiornya kalau malam agak gelap, namun bangkunya saya suka karena cukup empuk. Sekarang terdapat juga pembaruan di interiornya, ada ruang VIP, dan Duck King sendiri ramah disabilitas.
Pernah waktu dinner, saya membeli mun tahu pong isi seafood, dan sapo urat sapi. Semuanya waktu itu enak, namun untuk sapo urat sapinya tidak sampai taraf mindblowing, dengan harga yang juga hampir 3 kali lipatnya sapo uratnya De Pluit (142 ribu waktu itu).
Pernah juga sebelumnya ke sana waktu siang, saya mendapat buburnya sangat halus. Saya di sana juga sebetulnya senang terhadap udang timnya, benar - benar wangi.
Namun, bagaimana sekarang? Sekali lagi kita berlima makan di Duck King sana. Saya membeli mi bebek panggangnya dan saya minta kuahnya dicampur. Bebek dan kuahnya tercium agak amis, padahal sebetulnya bebeknya cukup juicy. Seperti kurang sesuatu, mungkin shaoxing atau huatiao.
Mapo tahunya masih gurih dan sticky, sih. Bihun gorengnya juga masih manis dan gurih, plus banyak tauge dan daging pelengkap semisal udang dan segala macam.
Namun, saya paling kecewa terhadap lo mai kai-nya. Kalau saya mendapat model lo mai kai seperti buatan Hong Kong Sheng Kee cabang Gandaria City, saya bisa memahaminya. Yang di Duck King Central Park ini, lo mai kainya seperti nggak niat dibuat. Bahkan, tidak terbungkus lotus apa - apa, hanya dialaskan kertas dimsum saja. Sedikit, lagi. Malesin.
Untung saja itu hanyalah lo mai kai-nya. Tapi, jeleknya lagi, lo mai kai-nya itu dihidangkan hampir 1 jam! Payah, benar - benar payah.
Padahal Duck King sekarang sudah mahal, seorang bisa 120 ribu lebih, porsi juga mungil - mungil kecuali hidangan utamanya seperti mun tahu pongnya itu, tax & servis juga agak tinggi 18.25 persen. Memang sih, tidak ada rounding bill dan tadi itu, saya dapat diskon, namun diskon juga hanya 40 ribu.
Mulai membingungkan nih kebijakan raja bebek ini.
IG Credits :
@michael_wen96
@es_shanghai_aconk