Micwengeneral B

Saya sebetulnya beberapa waktu lalu juga menyambangi Thai Street di lantai 2 Puri Indah Mall. Interiornya warna - warni dan masih ramah disabilitas.

Namun, thai grilled beef salad-nya agak terlalu asam menurut saya. Grilled beef-nya sendiri juga sedikit asin walau masih cukup empuk. Pad thai-nya sendiri juga agak kering, seperti berasa kurang saus pad thai.

Jadi, salad-nya dan pad thai-nya bukanlah hal yang paling unik di jalanan Thai Street itu. Singkongnya juga kurang pulen. Dan, betul saja, basil chicken-nya malah lebih impresif bagi saya pribadi, potongan ayam yang gurih dipadu saus dan daun kemangi yang digoreng.

Nasi goreng nanasnya juga wangi. Gurih juga, nasinya sendiri banyak, dan kismis di dalam nasi gorengnya tidak getir, pula. Nasinya juga disajikan dengan nanas tambahan. Pelengkapnya ada udang, udangnya tidak amis. Secara singkat, bagi saya pribadi, chicken basil dan nasi gorengnya lebih menarik daripada, khususnya, saladnya itu.

Namun, apabila diperhatikan harganya, memang nasi gorengnya ‘hanya’ 52 ribu. Basil chicken-nya juga sama. Akan tetapi, totalnya tetap saja jatuh di angka 350 ribuan untuk bertiga. Tax & servisnya lumayan besar juga, 18.25 persen. Dan jeleknya, terdapat rounding bill, pula.

Terdapat satu catatan saya lagi untuk Thai Street. Memang, dia mendukung reservasi online Chope. Namun, saat saya mau mereservasi di saat saya mau datang itu, malah tidak tersedia meja. Padahal Thai Street sendiri sedang tidak penuh dengan pengunjung waktu saya datang.

Kelihatannya memang kita lebih baik mencoba menggunakan metode seperti saat turun langsung ke jalanan pasar, kalau mau mencoba gerai semacam Thai Street ini. Apalagi, ada yang enak dan ada yang kurang di Thai Street, sama saja halnya seperti kita belanja di jalanan pasar, ada yang barangnya ‘bagus’ dan ada yang ‘nggak’.

IG Credits :
@michael_wen96
@es_shanghai_aconk

Biasa di Starbucks, saya beli cafe latte atau versi vanilanya. Namun, kali ini, di cabangnya yang di Central Park yang terletak di depan The Duck King, saya beli soy latte-nya, sembari menunggu antrian di The Duck King. Saya order ukuran venti dan panas, harganya agak mahal, 58 ribu nett.

So, bagaimana soy-nya itu? Sesuai namanya, soy latte ini (atau soy cafe latte, kalau di bill) menggunakan susu kedelai, nggak biasa sih. Hasilnya, masih berasa susu kedelainya sih ketika diminum, namun tetap tajam kopinya.

Namun, kalau didalami, menurut saya rasa kopi dan susu kedelainya itu kurang menyatu. Seperti hasilnya lebih ke campuran, bukan senyawa. Saya sebetulnya agak penasaran apabila ketika rasa dari kedua bahan itu menyatu seperti senyawa, apalagi mencampur kopi dan susu kedelai bukanlah suatu hal yang biasa.

IG Credits :

@michael_wen96

@es_shanghai_aconk

The Duck King di Central Park tempatnya memanjang sampai belakang. Interiornya kalau malam agak gelap, namun bangkunya saya suka karena cukup empuk. Sekarang terdapat juga pembaruan di interiornya, ada ruang VIP, dan Duck King sendiri ramah disabilitas.

Pernah waktu dinner, saya membeli mun tahu pong isi seafood, dan sapo urat sapi. Semuanya waktu itu enak, namun untuk sapo urat sapinya tidak sampai taraf mindblowing, dengan harga yang juga hampir 3 kali lipatnya sapo uratnya De Pluit (142 ribu waktu itu).

Pernah juga sebelumnya ke sana waktu siang, saya mendapat buburnya sangat halus. Saya di sana juga sebetulnya senang terhadap udang timnya, benar - benar wangi.

Namun, bagaimana sekarang? Sekali lagi kita berlima makan di Duck King sana. Saya membeli mi bebek panggangnya dan saya minta kuahnya dicampur. Bebek dan kuahnya tercium agak amis, padahal sebetulnya bebeknya cukup juicy. Seperti kurang sesuatu, mungkin shaoxing atau huatiao.

Mapo tahunya masih gurih dan sticky, sih. Bihun gorengnya juga masih manis dan gurih, plus banyak tauge dan daging pelengkap semisal udang dan segala macam.

Namun, saya paling kecewa terhadap lo mai kai-nya. Kalau saya mendapat model lo mai kai seperti buatan Hong Kong Sheng Kee cabang Gandaria City, saya bisa memahaminya. Yang di Duck King Central Park ini, lo mai kainya seperti nggak niat dibuat. Bahkan, tidak terbungkus lotus apa - apa, hanya dialaskan kertas dimsum saja. Sedikit, lagi. Malesin.

Untung saja itu hanyalah lo mai kai-nya. Tapi, jeleknya lagi, lo mai kai-nya itu dihidangkan hampir 1 jam! Payah, benar - benar payah.

Padahal Duck King sekarang sudah mahal, seorang bisa 120 ribu lebih, porsi juga mungil - mungil kecuali hidangan utamanya seperti mun tahu pongnya itu, tax & servis juga agak tinggi 18.25 persen. Memang sih, tidak ada rounding bill dan tadi itu, saya dapat diskon, namun diskon juga hanya 40 ribu.

Mulai membingungkan nih kebijakan raja bebek ini.

IG Credits :
@michael_wen96
@es_shanghai_aconk

Han Gang ini benar - benar agak ironi. Dulu bibimbap-nya enak, Han Gang bahkan sempat memenangkan penghargaan majalah Jakarta Java Kini 10 tahun yang lalu, kini dia hanya tersisa sekitar 2 - 3 cabang saja. Salah satunya yakni di foodcourt Plaza Senayan.

Jadi, saya agak penasaran juga. Maka beberapa waktu lalu, saya datang ke cabang tersebut selain membeli camilan di Sugakiya dkk., dan saya membeli samgyetang dan mandu. Harga samgyetangnya 68 ribu belum termasuk pajak saja.

Dan saya mulai mengerti. Samgyetangnya agak konyol ditambah nasi. Kuahnya juga berasa kayak kaldu ayam biasa yang cenderung agak tawar, benar - benar sulit di-highlight. Kecuali, porsinya dan porsi mandu-nya.

Namun, mandunya juga agak rumit. Isinya seperti campuran tahu dan soun. Sedikit kurang asin, sih. Kulitnya juga sedikit terlalu tebal menurut saya, lebih garing kuotie. Servisnya juga perlu pembaruan, saya beli kimchinya seharga 18 ribu, namun saya tidak tahu bahwa ternyata samgyetang-nya sudah ada free kimchi.

Jadi, Han Gang sekarang agak rumit, ya, gangnya. Kok bisa ya jadi begitu.

IG Credits :
@michael_wen96
@es_shanghai_aconk

Semangat cokelat sedang dikobarkan BRUN di Central Park ini, yang terletak tepat di depan Gramedia. Saya sendiri mencoba hazelnut chocolate-nya yang seharga 33 ribu nett.

Rasa cokelatnya di BRUN ini cukup pekat. Sedikit manis. Ya memang harus begitu pekatnya ya bagi BRUN yang sedang gencar begini.

Cuma, satu catatan, cokelatnya kurang susu sedikit menurut saya.

IG Credits :

@michael_wen96

@es_shanghai_aconk

Beberapa waktu yang lalu, saya membeli soto di Warung Soto. Sotonya biasa, harganya 46 ribu nett. Santannya kurang cukup banyak. Perkedelnya juga kurang begitu garing.
Daripada Warung Soto yang terletak di Central Park ini, saya lebih suka soto yang di daerah Puri. Walaupun demikian, Warung Soto ini sotonya tidak terlalu berminyak, juga.

Narasi saya yang berikutnya adalah mengenai Pizzeria Cavalese, Mall Of Indonesia. Di sana nggak ada kaviar. Lalu, inilah yang saya temukan di sana.

Pendahuluan, gerainya setahu saya di sebelah Batik Keris. Area Cavalese dibagi 2, di dalam dan di luar. Bagian luar mirip Union Cafe. Dia ramah disabilitas.

Saya memboyong pinky spaghetti dan pizzanya, tentunya, namun untuk pizzanya saya lupa namanya. Yang pasti, pizzanya berasa completely full of meat, dan garing, padahal sosis dan peperoninya terlihat secara kasat mata, menyendiri.

Spagetinya sendiri juga creamy dan sedikit ditambah tomat. Uniknya, sekilas spagetinya sedikit, namun ketika saya mengacaknya dengan garpu, menjadi banyak.

Akan tetapi, ada yang lebih mengejutkan lagi. Walaupun banyak, saya tadinya berpikir bakal kebanyakan, namun ternyata bisa habis tersantap, juga. Entah mengapa.

Totalnya begitu 190 ribu dengan teh. Tax dan servis 18 persen. Dan bagusnya, di Cavalese, mesin ATM EDC-nya wireless, jadi saya tidak perlu repot - repot ke kasir.

Menurut saya, Cavalese sedang mencoba me-releasing perspektif berbeda mengenai pizza dan pizzeria, bukan kaviar. Walaupun, bisa jadi akhirnya kembali ke selera kita masing - masing, apalagi jika diperhatikan lebih detail ke komentar saya tadi atas pizzanya tersebut.

IG Credits :

@michael_wen96

@es_shanghai_aconk

Perihal Yie Thou, nasi campurnya besar, namun, nasi hainannya kurang pulen sedikit. Walaupun begitu, samcan pelengkapnya wangi dan renyah, ayamnya juga cukup gurih.

Dan, yang paling unik, tepat di depan Yie Thou yang berada di Pluit Village ini, terdapat kios yang menjual tahu kipas goreng. Namanya Tahu Pedas Melotot, bisa diorder di dalam Yie Thou. Tahunya kolosal dan garing, walaupun sebetulnya saran saya akan lebih baik lagi kalau minyaknya lebih sering diganti baru (tahunya cocok dicocol ke sambal terasi).

Tahunya sepotong 5 ribu include tax, nasi campurnya 49 ribuan namun belum termasuk tax & servis 16.05 persen. Bagusnya, bill tahu dan nasi saya digabung, sayang mesin EDC ATM-nya belum bisa wireless.

Posisi Yie Thou sendiri agak diujung kalau dari arah lobby utama. Seberangnya adalah Carrefour. Interiornya sedikit mirip Din Tai Fung Arcadia, mungkin, dan ramah disabilitas.

Anyway, letak dan hidangannya itu mirip dari huruf T ke Y. Dari tahu hingga nasi campur.

IG Credits :

@michael_wen96

@es_shanghai_aconk

Rejuvenation kali ini terjadi lagi dengan melalui jus I.Glow buatan Re.Juve cabang Mall Of Indonesia. Harganya 50 ribu belum termasuk pajak saja.

I.Glow ini campuran apel, nanas, dan wortel. Rasanya asam, manis, dan rasa dari wortelnya sedikit. Masih menyatu, sih.

Itu kombinasi klasik namun rejuvenate. Gerai di cabang sana sebelahan dengan Liang Sandwich yang periang. Gerainya simpel namun cukup bersih, ramah troli.

IG Credits :

@michael_wen96

@es_shanghai_aconk