Micwengeneral B

Kemarin malam di Grand Indonesia, Thamrin, penulis mampir ke Tesate. Terletak di area Nomz-Publik Markette, di dalam Tesate inilah Tekote berada.

Interior Tesate sendiri menurut penulis, modelnya agak sedikit mirip Pancious si Mal Kelapa Gading, dan Glosis di Puri Indah Mall. Namun, di Tesate, bangkunya sofa, dan ramah disabilitas.

Di Tesate, penulis memboyong :

A. Nasi goreng iga paniki (145 ribu)

Nasi gorengnya di sini banyak, sedikit berminyak. Terdapat beberapa kubus iga sapi dan emping, plus acar. Nasi gorengnya sendiri cukup gurih, namun tidak sampai taraf mindblowing. Iganya sendiri juga juicy, namun tidak ada rasa lain yang mengitarinya.

B. Soto betawi (125 ribu)

Soto betawinya secara mengejutkan bongsor. Kuahnya lumayan berasa santan, lebih berwarna jingga. Isi dagingnya cukup banyak, bahkan terdapat pelengkap 3 tusuk sate sapi di sotonya tersebut. Satenya empuk dan sedikit manis.

C. Sate ayam ponorogo (73 ribu)

Seporsi sate di Tesate berisi 6 tusuk, untuk sate ayamnya sendiri cukup empuk. Sausnya manis. Namun, model sausnya agak sedikit berbeda dari saudara Tesate, yakni Sate Khas Senayan.

D. Es campur (47 ribu)

Es campurnya cukup cantik dan besar, manis pula. Isinya terdapat beberapa macam, salah satunya alpukat, selasih, dan sagu delima berwarna ungu muda.

Walaupun penulis bisa mempelajari kekayaan kuliner tradisional, namun harganya tersebut menahan penulis untuk melakukannya. Harga tersebut untungnya hanya belum termasuk pajak saja, tidak ada service charge. Pembayaran dengan ATM-pun juga tidak perlu ke kasir, karena mesin EDC-nya telah nirkabel.

Sayang sekali, Tesate sudah tidak mendukung Chope, padahal sebelumnya dia bisa, contrary juga dengan pernyataan penulis di Tekote. Hal ini sebetulnya krusial, mengingat zaman sekarang serba online.

Setidaknya, penulis bisa mengenyam langsung kuliner tradisional di Tesate, walaupun hasilnya mungkin mengarah ke lumayan saja. Nonetheless, Tesate merujuk kepada satenya sendiri, terutama sate sapi di soto betawinya tersebut. Ditambah, penutup dan minuman tradisional yang tersedia di anaknya, Tekote.

-- The Sate! --

IG Credits :

@michael_wen96

@es_shanghai_aconk

Pernah sekali saya makan di Pu Tien cabang PIK Avenue. Lomienya ya memang enak sih. Kuahnya kental wangi. Tahunya juga legit. Sayur 3 macam telurnya di sana rather tempting.

Saya sebetulnya agak sedikit lupa dengan Pu Tien di cabang tersebut, namun lomienya ya begitulah, bisa dikenali. Dan harganya sekarang mungkin yang bisa jadi lebih mahal, seingat saya dulu saja 78 ribu small.

Tempatnya mengotak di cabang itu, bersih, itu saja yang saya ingat. All in all, telur phitan baik yang agaknya terlupakan.

Bisa jadi karena sebelumnya saya pernah review Pu Tien ini di situs lain, namun kelupaan. Mungkin terhapus.

Saatnya mencoba langsung Bebek Kaleyo di Tomang.

Penulis mendapatkan bebek goreng kremes di sana, dan dilengkapi nasi uduk. Nasi uduknya sedikit kurang pulen, walaupun gurih.

Akan tetapi, bebeknya tampak ngotot tidak mau kalah. Ukurannya cukup besar, kremesannya renyah. Bebeknya juga cukup gurih dan garing, kali ini. Dan baiklah, kali ini bebeknya mendapat poin. Sambalnya pun kali ini rather unik, enak, bukan sambal terasinya.

Total bertiga 116 ribu, hanya belum termasuk pajak saja. Namun, karena tidak ada servis charge, servisnya di sana menurut penulis kurang bagus.

Penulis menunggu lama supaya sambal mangganya jadi, sendok tidak disediakan oleh pelayannya, AC-nya panas khusus bagian ruangan dengan AC, dan tidak bisa membayar dengan ATM. Ada rounding bill, pula.

Bebeknya sih tidak mau kalah, ya.

IG Credits :

@michael_wen96

@es_shanghai_aconk

Weekend kemarin ada bazaar di Tribeca Central Park, penulis menemukan Negiya Donburi. Penulis membeli karadon, tampak karadon-nya diberi daun bawang.

Penulis merasa karadon-nya sebetulnya lumayan, agak sedikit manis asin. Dagingnya juga tidak keras. Namun, aroma karadon-nya menurut penulis agak bland, kurang menarik.

Karaagenya sendiri decent. Karadon-nya 41 ribu waktu bazaar tersebut, sudah nett.

Begitu dulu untuk Negiya. Next time, penulis mungkin mau mencoba cabangnya langsung. Sebetulnya ada potensial dia.

Kali ini Bakmi Ayam Alok alot, khusus cabangnya di Muwardi, Grogol. Minya di cabang sana tidak 'aldente', istilahnya. Minya bisa sedikit larut di dalam sausnya. Takaran keasinannya padahal masih cukup wajar.

Pangsitnya juga tidak istimewa. Padahal pangsitnya cukup besar. Harga bakminya juga agak lofty, total bisa 235 ribu untuk 4 porsi bakmi (2 large), pangsit, dan minum.

Overall, Alok rada alot kali ini. Lebih memuaskan cabangnya di Greenville.

Zenbu di Central Park Mall, bagi saya pribadi, memang bermain Z di mozaru-nya. Yang menarik, untuk mushroom mozaru-nya, berasa cheesy sekali. Aroma mozaru-nya juga wangi krim, jamurnya juga cukup royal.

Teppanyaki-nya juga menggoda. Wangi sih, sausnya juga gurih sedikit manis, daging dan sayurannya lumayan mindblowing, dan terdapat sunny side. Selebihnya Zenbu biasa saja, baik katsudon, sushi, gyoza, dan tenpura-nya.

Teppanyaki-nya sendiri seharga 85 ribu, mozaru-nya bervariasi. Pernah saya pesan mozaru-nya yang dipakai burger, 89 ribu harganya untuk large. Semuanya belum termasuk tax dan servis charge.

Servis charge-nya agak lofty, 7.5 persen. Untungnya, Zenbu Central Park tidak ada rounding bill.

Ada beberapa hal lainnya yang agak janggal di Zenbu sana, yakni ketiadaanya reservasi online Chope. Padahal, beberapa cabangnya yang di tempat lain semisal di Puri malah sudah support hal itu.

Interiornya sendiri mungkin desain anak muda, kasual, dan agak terbuka. Namun, kalau dirasakan, tempatnya mulai berasa sempit, juga. Karena sempit, tempatnya juga tidak ramah disabilitas, apalagi di Zenbu sana juga terdapat beberapa anak tangga.

Terakhir, meja makannya unik. Fungsional, terdapat slot dibawahnya. Mungkin, kalau saya bawa semacam tas laptop yang sedang tidak digunakan, saya bisa menaruhnya di sana.

Seunik - uniknya meja makannya, sesempit - sempitnya gerainya, tetap saja mozaru-nya dan teppanyaki-nyalah yang lebih diutamakan di Zenbu Central Park.

IG Credits :

@michael_wen96

@es_shanghai_aconk

Marché membuka cabangnya di Lippo Mall Puri, di belakang Tea Et Al/Applebee’s. Gerainya itu banyak konter mirip live cooking station di buffet hotel (bahkan sampai dessert), desainnya kasual mirip foodcourt Gandaria City mungkin, dan bersih.

Saya ingat saat baru - baru ini beberapa hari yang lalu, saya mendapat voucher free kopi di sana. Jadi, saya menggunakan voucher-nya di sana. Sayang, reservasi online apapun tidak muncul namanya.

Sistemnya sama dengan cabangnya di Grand Indonesia, menggunakan kartu. Semua order diinput ke kartu lalu dikembalikan ke kasir untuk dibuatkan bill. Voucher free kopinya itu sendiri langsung ditunjukkan ke kasir.

Namun voucher-nya agak aneh. Memang dipotong, namun hanya harga kopinya saja. Pajaknya tidak terpotong, harga kopinya itu secara nett 42350, namun yang dipotong hanya 38.5 ribu, jadi harga sebelum pajak.

Dengan kata lain, tidak sepenuh hati. Walaupun kopinya lumayan dan tidak manis, karena gulanya dipisah. Pizzanya juga agak asin walaupun garing dan tipis. Cukup mahal juga, 95 ribu belum tax.

Mungkin hal positif dari Marché baru ini adalah rösti-nya. Rösti-nya lumayan besar dan kentangnya tidak menunjukkan hal - hal yang aneh. Aromanya cukup milky, pula, walaupun untuk rasanya masih lebih enak rösti buatan Ritz-Carlton. Sosisnya sendiri gurih, isi kejunya juga meleleh. Jus markisanya juga fresh.

Namun, rösti-nya lagi - lagi agak pricey. Rösti-nya memang diset dengan markisanya itu menjadi 75 ribu, namun ternyata sosis-nya tidak termasuk, jadi saya tambah lagi uang 67 ribu, semuanya belum termasuk pajak. Totalnya hanya dengan salad, minum, dan lain - lain, bisa 430 ribu.

Marché bisa menjurus too expensive. Padahal tidak ada rounding bill dan service charge.

Memang bulannya Marché kelihatannya bulannya rösti saja, ya, yang baru tersedia jam 11 ke atas. Sama kemungkinan menu breakfast-nya.

IG Credits :
@michael_wen96
@es_shanghai_aconk

Kali ini, penulis mencoba full review untuk Wee Nam Kee, Grand Indonesia.

Pertama, gerainya berada disamping Kimukatsu. Gerainya sayang sekali belum terdaftar dalam Chope maupun Eatigo. Tempatnya sederhana saja, agak remang - remang dan sepertinya ada aksen kayu sebagai pelengkap. Beberapa bagian terdapat sofa, dan gerainya ramah disabilitas.

Menu ayamnya menjadi highlight Wee Nam Kee. Penulis sendiri kali ini membeli roasted chicken-nya seharga 59 ribu, dan sudah termasuk minum. Roasted chicken dia sendiri tidak renyah seperti model ayam panggang (Hong Kong) pada umumnya, namun uniknya, roasted chicken-nya itu ditambah soy sauce dan timun. Ayamnya lembut walaupun bukan ayam kampung sepertinya.

Nasi goreng Wee Nam Kee sendiri cukup gurih. Isinya banyak daging ayam, telur, dan sedikit udang. Melimpah. Sayangnya, nasi gorengnya agak terlalu berminyak menurut saya.

Sementara itu, hotplate tahunya dominan rasa asin, terdapat beberapa macam sayuran semisal kapri, wortel, dan yang lain. Tahunya cukup lembut, namun menurut saya sausnya itu tidak terlalu berasa spesial. Mungkin, saus hotplate-nya sedikit mirip saus chajiang.

Nasi gorengnya dihargai 55 ribu, hotplate-nya 45 ribu. Semuanya belum termasuk pajak dan servis tambahan yang sebesar 16.05 persen. Sayangnya, terdapat rounding bill di Wee Nam Kee.

Terakhir, mengenai namanya, memang Wee Nam Kee tidaklah berkaitan dengan Nam Kee di Hong Kong. Dan, penulis sendiri masih berpendapat Nam Kee di Hong Kong lebih memorabel, karena Nam Kee di Hong Kong mempunyai kwetiau kuah yang kolosal.

Walaupun secara umum hidangan Wee Nam Kee sekarang biasa saja, all in all, chicken dan roasted chicken Wee Nam Kee menarik juga untuk didalami.

IG Credits :

@michael_wen96

@es_shanghai_aconk